Kata Pengantar
Assalamu’alaikum wr.wb.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak
nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji
hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul ”Perang Padri”. Dalam menulis
memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : Ibu Dwi
Ratna A.Ch,S.Pd selaku guru pembimbing kami yang telah memberikan dukungan, kasih, dan
kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal,
semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah
yang lebih baik lagi. Meskipun kami berharap isi dari makalah ini bebas dari
kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir
kata kami berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun
1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik
dan Haji Piobang yang ingin
memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu
ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain
di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang
Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk
meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum
Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan
Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan
Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah
terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles
yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya
mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung
yang sudah terbakar.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka permasalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
Perang Padri pada tahun 1803 sampai 1838
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah
ini adalah untuk mengetahui sejarah terjadinya Perang Padri di Sumatera Barat
Daftar isi
Ø Kata Pengantar
Ø Pendahuluan
Ø Daftar isi
Ø Pembahasan Perang Padri
Ø Keterlibatan Belanda
Ø Gencatan Senjata
Ø Tuanku Imam Bonjol
Ø Peperangan Jilid 2
Ø Perlawanan Bersama
Ø Serangan Ke Bonjol
Ø Benteng Bonjol
Ø Pengepungan Bonjol
Ø Perundingan
Ø Akhir Peperangan
Ø Warisan Sejarah
Ø Referensi
Ø Daftar Pustaka
Ø Penutup
Perang Padri
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Baratdan sekitarnya
terutama di kawasan Kerajaan
Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat
pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah
menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan
sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan
yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung
dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan,
serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.
Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk
meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah
peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam
peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan
Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan
Pagaruyung waktu itu Sultan
Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan
kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit
keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan
bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat
dimenangkan Belanda.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu
yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini
selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya
perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari
kawasan konflik.
Keterlibatan Belanda
Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang
Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan
Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda
pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar
waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan
Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda
penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian mengangkat Sultan
Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.
Keterlibatan
Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda
dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang
dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada
bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy
di Padang. Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel
Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai
tersebut.
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah
pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari
Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der
Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda
dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada
tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat
kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822
pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh
serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823,
Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan
perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke
Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin
Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun
pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di
Pagaruyung. Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang
pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.
Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di
bawah pimpinan Mayor Frans
Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di
antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau,
namun karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin
meninggal dunia di Padang.
Gencatan senjata
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh
sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu
Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu
itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol
untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15
November 1825. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah
Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol
mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat.
Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat
Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah
Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama
Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.
Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang
diilustrasikan oleh de Stuers pada tahun 1820.Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai
pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh
sebagai Imam di Bonjol.
Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh
meninggal dunia.
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya,
sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap
kepahlawanan dan cinta tanah air
Peperangan jilid kedua
Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya
kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk
menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk
penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek).
Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi
merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin
menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika
perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di
pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada
satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda
melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu
memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk
memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock.Persiapan
pasukan Belanda di Fort de Kock.
Pada
awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan,
menjadikan Luhak Tanah Datar
berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan
perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah.
Sementara ketika Letnan
Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara
tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot
Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah
Hindia-Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout
berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan
masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan
Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian
Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak
berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun
juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatera.
Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati
sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut
kembali menjadi tentara Belanda.
Sentot Prawirodirdjo, yang diilustrasikan oleh G. Kepper.
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah
pimpinan Letnan Kolonel
Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan
tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah
berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian
Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang,
namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda
setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri
terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di
Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran
pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari
1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun
sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh
Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan
banyak korban di pihak Belanda. Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada
tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat
akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal,
Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
Perlawanan bersama
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat
dan Kaum Padri. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam
konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir selama 20
tahun pertama perang ini (1803–1823), dapatlah dikatakan sebagai perang saudara
melibatkan sesama etnik Minang
dan Batak.
Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan
dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;[21] disebutkan ada sekitar 139
orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan
Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent
Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei
1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda
mengasingkannya ke Batavia, walau dalam
catatan Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam
penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah Hindia-Belanda juga tidak
mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent
Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi
Kaum Padri saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka
Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut
"Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke
Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya
datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap
diperintah oleh para penghulu mereka dan
tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian
Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan
sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti
menjualnya kepada Belanda.
Letnan Kolonel
Raaff
dan pasukannya, dilukiskan oleh G. Kepper. Raaff meninggal dunia sebelum
berakhirnya Perang Padri.
Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri,
diilustrasikan oleh G. Kepper.
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk
melihat dari dekat proses operasi militer
yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan
perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz
dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando
pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik
untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan
penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang
pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera
menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir
tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada
tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum
Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng
Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan
Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda
hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan
badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud,
Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang
diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada
pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga
kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam
menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan
pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk
kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan
sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda
dipimpin oleh Letnan
Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian
yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti
menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam
hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini
telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di
Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang
masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran
sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama
tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak.
Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa
mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini
meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai
kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih
sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati
daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah
daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun
pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.
Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda
kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan
Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum
Padri tetap bersiaga di seberangnya. Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol
dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835,
kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan
houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol.
Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit
Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak
menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan
pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan
pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai
gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Benteng Bonjol
Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama
Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan
Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras,
berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang,
tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang
lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri
dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan
hampir sama seperti benteng-benteng di
Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang
yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan
menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu
pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan
inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu
pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.
Pengepungan Bonjol
Kejatuhan
Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh G. Kepper.
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba
melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan
makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak
efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan
perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya. Di
saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah
yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau
dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol
sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol
baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan
mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit
Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam
merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada
disekitar Bukit Tajadi.[27] Namun sampai awal September
1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal
5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar
benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit
Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke
dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba
menyerang dari arah Luhak Limo Puluah
dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada
pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda
menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya
digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri,
membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan
menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan
Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan
Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah
datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda,
perlawanan ini dapat diatasi.
Kemenangan
Belanda dalam Perang Padri, yang diilustrasikan oleh G. Kepper.
Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember
1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng
Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini
mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk
menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi
dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil
memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar
dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing
pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul
kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia yang waktu itu telah
dipegang oleh Dominique
Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang
panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal
Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng
Bonjol untuk kesekian kalinya. Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda
yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari
segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[29] dipimpin oleh jenderal dan
beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai
suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130
tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder
begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para
perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius,
Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager,
Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan
seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein
Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo,
Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara
Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang,
sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda,
direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs,
serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan
peluru dari pasukan artileri yang
bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta
pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada
tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel
Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi
sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837,
Bukit Tajadi jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara
keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri
keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju
daerah Marapak.
Perundingan
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol
terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah
bercerai-berai dan lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan
Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan
masih siap untuk bertempur kembali.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran
dari Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam
Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan
tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata
berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa
senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol,
peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol
dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke
Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia
dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia
kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku
Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Manado, dan di daerah
inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal
8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.
Akhir peperangan
Monumen
Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia-Belanda
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai
Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi
peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di
Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin
oleh Tuanku Tambusai
jatuh pada 28 Desember 1838. Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai
mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian
Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan
wilayah Padangse
Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah
Hindia-Belanda.
Warisan sejarah
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap
patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas
jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen
untuk mengenang kisah peperangan ini. Kemudian sejak tahun 1913, beberapa
lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai
kawasan wisata di Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia,
pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan
Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini,
mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan
Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.
Referensi
1.
^ Cuisinier, Jeanne (1959). "La Guerre des Padri
(1803-1838-1845)". Archives de Sociologie des Religions. Centre National
de la Recherche Scientifique.
3.
^ Azra, Azyumardi (2004). The Origins of Islamic
Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern
'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. University of Hawaii
Press. ISBN 0-8248-2848-8.
4.
^ Ampera Salim, Zulkifli (2005). Minangkabau Dalam Catatan
Sejarah yang Tercecer. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.
6.
^ Raffles, Sophia (1830). Memoir of the Life and Public
Services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: J. Murray.
8.
^ G. Kepper, (1900). Wapenfeiten van Het Nederlands
Indische Leger; 1816-1900. Den Haag: M.M. Cuvee.
9.
^ Episoden Uit Geschiedenis der Nederlandsche
Krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus. Indisch Magazijn 12/1, No. 7.
1844:116.
10.
^ H. M. Lange (1852). Het
Nederlandsch Oost-Indisch leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845). ‘S
Hertogenbosch: Gebroeder Muller. I: 20-1
11.
^ a b Dobbin, C.E. (1983). Islamic
revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847.
Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.
12.
^ P. C. Molhuysen en P.J. Blok (1911). Nieuw Nederlands
Biografisch Woordenboek. Deel 2, Bladzijde 1148.
14.
^ Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah
(2009). Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in
Southeast Asia, Bab 6: Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious
Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira.
Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0
15.
^ Munasifah (2007). Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra 1.
Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51. ISBN 978-979-1494-31-1
16.
^ Mardjani Martamin (1984). Tuanku Imam Bonjol.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
17.
^ Zakariya, Hafiz (2006). Islamic reform in colonial
Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh al-Hadi. ProQuest. ISBN 0-542-86357-X.
19.
^ Said, Mohammad (1961). Dari halaman2 terlepas dalam
catatan tentang tokoh Singamangaradja XII. Waspada.
20.
^ Abdullah, Taufik (1966). Adat dan Islam: an
Examination of Conflict in Minangkabau. Indonesia. No. 2, 1-24.
22.
^ Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat Indonesia (1964). Sejarah
Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia. Staf Angkatan Bersenjata.
23.
^ J.C. van Rijnveld (1841). De Merkwaardige Terugtocht
van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
24.
^ Abdul Qadir Djaelani, (1999), Perang sabil versus
perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda,
Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah.
25.
^ a b Boelhouwer, J.C. (1841). Herinneringen
van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. Den
Haag: Erven Doorman.
27.
^ Journaal van de Expeditie Naar
Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de Majoor
Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis. hlm. 59-183.
28.
^ Tate, D. J. M. (1971). The Making of Modern
South-East Asia: The European conquest. Oxford University Press.
29.
^ G. Teitler (2004). Het Einde Padri
Oorlog: Het Beleg en de Vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een
Bronnenpublicatie. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. hlm. 59-183.
31.
^ Westenenk, L. C., (1913), Sumatra Illustrated Tourist
Guide: A Fourteen Days’ Trip in the Padang Highlands, Batavia
(Weltevreden): Official Tourist Bureau.
Daftar pustaka
- 1838. Het verhaal van de overwinning van Bondjol. De Avondbode. (26-03-1838)
- 1839. Bondjol. Tijdschrift voor Nederlands Indië. 456-458.
- 1840. J.C. van Rijneveld. Veldtocht der Nederlandse troepen op het eiland Celebes in de jaren 1824-1825. Militaire Spectator. Bladzijde 221-240.
- 1841. J.C. Boelhouwer. Herinneringen aan mijn tijd op Sumatra's Westkust gedurende de jaren 1831-1834. Erven Doorman.
- 1841. J.C. van Rijneveld. De merkwaardige terugtocht van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
- 1842. A. Meis. Verhaal van de Palembangse Oorlog van 1819 tot 1821. Militaire Spectator. Bladzijde 182-189.
- 1844. H.M. Lange. Verhaal van de krijgsgebeurtenissen in het landschap Rauw, aan de westkust van Sumatra, gedurende het jaar 1833, en van de heldhaftige verdediging van het fort Amerongen. Militaire Spectator. Bladzijde 7-15, 23-33, 53-61, 81-83 en 119-125.
- 1850. H.M. Lange. 'Hulde aan de nagedachtenis van hen, die sinds de vestiging van het Koninklijk Nederlands gezag in Oost-Indië, roemvol gesneuveld zijn. Militaire Spectator. Bladzijde 464-475.
- 1876. A.J.A. Gerlach. Neerlands heldenfeiten in Oost-Indië. Bewerkt naar Les fastes militaires des indes Orientales. Deel II. Gebroeders Belinfante. Den Haag.
- 1900. G. Kepper. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. M.M. Cuvee, Den Haag.
Penutup
Demikian yang dapat kami uraikan
apabila ada kata –kata yang kurag berkenan kami selaku penulis mohon maaf yang
sebesar besarnya .
Wassalamualaikum Wr.Wb